Saya terlahir
sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Walaupun lahir di Jakarta , tapi saya bertumbuh besar dan
menghabiskan masa remaja saya hingga tamat SMA di Palembang. Ayah saya mendidik
kami berempat dengan keras. Semua hidup dalam aturan dan disiplin yang
ditegakkan oleh ayah. Walaupun sejak SMP saya tinggal di rumah yang terpisah
dari orang tua, tapi hal tersebut tidak menjadikan saya bebas. Saya tetap hidup
dalam aturan yang ditetapkan oleh orang tua meskipun tinggal terpisah. Karena
saya tahu, ayah selalu memantau pergerakan saya setiap hari. Walaupun besar
dalam sebuah kedisiplinan, ayah tidak pernah membatasi pergaulan saya. Saya
bebas membawa teman-teman saya bermain kerumah bahkan sampai menginap. Saya
juga tidak dilarang bermain kerumah teman-teman saya selama pulang sebelum
maghrib atau semalam-malamnya pulang jam 21.00. Itupun dengan catatan sudah
izin sebelumnya akan pulang malam dan sudah disetujui pastinya.
Dengan membuat
kami berpikir bahwa kami seolah terpantau, membuat kami bersaudara juga seolah
enggan untuk melakukan hal-hal yang bisa membuat beliau murka. Misalnya saja, saya rela dibilang banci oleh beberapa teman-teman karena saya tidak merokok.
Padahal teman-teman satu kelompok saya semuanya merokok. Saya lebih rela
diledek daripada membayangkan murka ayah saya yang mendapati saya ketahuan
merokok. Karena saya merasa ayah saya selalu memantau gerak-gerik saya. Waktu
SMA saya bersahabat dengan teman-teman yang sedang belajar sampai yang sudah
mahir merokok. dari mulai merokok, mereka mulai mencoba minuman beralkohol.
Saya masih ingat bagaimana mereka harus curi-curi untuk membeli sebotol bir
untuk diminum bersama. Tapi rasa takut membuat saya menolak untuk minum. Dan
untungnya saya bukan tipikal orang yang “panas” bila diledekin teman-teman
saya. Lagipula mereka tidak sampai memaksa atau nyekokin saya untuk minum.
Setamat SMA,
seperti kebanyakan orang Sumatera lainnya, saya harus merantau mengikuti jejak
abang saya yang sudah terlebih dahulu kuliah di ibu kota
Jakarta .
Awalnya saya ingin kuliah di Malang ,
bahkan sudah sempat nekat jalan kesana untuk mendaftar kuliah. Tapi memang
dasar jodohnya harus kuliah di Jakarta , akhirnya
saya harus kembali dan kuliah di Jakarta .
Walaupun di Jakarta ada beberapa rumah kerabat dekat, tapi saya memutuskan
untuk kos dekat kampus saja. Untungnya saya mengikuti sebuah organisasi
kemahasiswaan di kampus dan menjadi pengurusnya. Tempat kos saya yang dekat
dengan kampus membuat teman-teman organisasi memutuskan untuk menyewa satu
kamar di tempat kos saya untuk dijadikan basecamp. Jadi semua pengurus
organisasi bisa memakai tempat kos tersebut. Setiap hari sepulang kuliah,
tempat kos saya selalu ramai dengan teman-teman organisasi. Ada saja yang dibahas seharian sampai malam.
Bila ada pembahasan yang sangat seru, tak jarang banyak sekali yang menginap.
Ujung-ujungnya kamar saya juga dipakai untuk tempat tidur.
Banyak kepala
berkumpul tentu saja ada banyak sifat dan kebiasaan yang harus saya hadapi.
Ditambah lagi saat itu bayang-bayang ketakutan karena selalu terpantau oleh
ayah saya sudah tidak ada lagi. Sejak saya kuliah dan kos di Jakarta saya merasa menjadi manusia yang
bebas. Ayah saya di Palembang dan saya di Jakarta ,
kalaupun ada saudara-saudara dekat di Jakarta
toh mereka sudah sibuk dengan kegiatan dan keluarganya masing-masing. Tidak
mungkinlah bisa memantau saya setiap saat, begitulah pemikiran saya saat itu. saat
menikmati masa kebebasan itulah untuk pertama kalinya saya belajar merokok dari
teman-teman saya yang sering nongkrong di tempat kos. Akhirnya saya malah jadi
perokok berat. Tiada hari tanpa begadang yang saya lewatkan tanpa merokok.
Setelah mengenal rokok saya juga mulai mengenal miras. Menurut teman-teman
saya, begadang itu tiada sempurna sambil merokok dan minum bir. Tapi untungnya
saya tidak terlalu suka minuman bernama bir itu. Tapi demi kebersamaan saya
minum juga sedikit dan seringnya sih saya buang diam-diam.
Setelah menjadi
perokok dan mulai mengenal miras (walaupun faktanya sampai sekarang saya tidak
pernah suka rasa beberapa miras seperti bir), beberapa teman mulai mengenalkan
saya pada pengalaman baru. Dia bernama ganja. Awalnya saya pikir teman-teman
saya sedang merokok, tapi entah kenapa baunya berbeda. lebih tajam dan menusuk.
Mereka menawarkan saya untuk menghisapnya. Rasanya beda tipis dengan merokok
tapi sensasinya lebih nendang daripada merokok. Itulah kali pertama saya menghisap ganja
seumur hidup saya. Memang menghisap ganja tidak pernah menjadi kebiasaan rutin
saya dan teman-teman di kos-kosan. Tapi beberapa kali ada saja teman yang
membawanya ke kos dan kami buat beberapa linting lalu dihisap bersama. Efek
ganja yang sering saya rasakan pada diri saya bermacam-macam. Kadang membuat
ngantuk, kadang membuat gembira. Bila sudah bersama teman-teman kami bisa
ngeganja sambil tertawa tawa. Walaupun tidak pernah merasa sampai kecanduan,
tapi saya menikmati pengalaman ini bersama teman-teman saya.
Hingga akhirnya
saya mendengar kabar dari kampung halaman bahwa usaha ayah saya sedang tidak
kondusif. Saya diminta untuk prihatin mengingat adik-adik saya juga akan segera
melanjutkan ke bangku kuliah dan perlu biaya yang tidak sedikit. Bahkan uang
kuliah sayapun dibayarkan oleh adik ayah. Saya seperti tertampar. Saya disini
bersenang-senang bersama teman-teman saya sementara orang tua saya sedang dalam
kondisi yang prihatin. Betapa kurang ajarnya saya sebagai anak. Saya sempat
mengutarakan niat berhenti kuliah dan kembali ke Palembang ,
tapi ayah melarang dan meminta saya tetap meneruskan kuliah di Jakarta . Beliau berpesan
supaya saya bisa lulus tepat waktu, karena beliau sedari awal tidak pernah
meminta saya lulus dengan predikat terbaik atau berprestasi. Baginya saya lulus
tepat waktu itu sudah menjadi kebanggaannya sebagai orang tua.
Sejak itu saya
menguatkan tekat untuk menjadi lebih baik. Saya masih tetap merokok ( baru
berhenti merokok setelah lulus kuliah ) tapi sudah mau lagi menghisap ganja.
Saya tidak mau ambil resiko ayah saya harus menanggung beban yang lebih berat
bila saya sampai kecanduan atau tertangkap tangan sedang mengkonsumsi ganja
oleh pihak kepolisian. Saya tetap bersahabat dengan teman-teman saya, dan
untungnya mereka bisa mengerti bahkan semakin mengurangi kegiatan minum-minum
dan ngeganja di tempat kos. Belakangan saya tahu mereka mulai kuatir juga
karena sering melihat mobil polisi yang wara-wiri dekat tempat kos. Bahkan ada
teman yang terang-terangan bercerita sampai mendatangi tempat rehabilitasi
pengguna narkoba. Dan saya hidup sebagai manusia anti narkoba hingga saat ini.
Saya bersyukur
dengan kejadian yang menimpa usaha ayah saya dapat membuat hidup saya jadi lebih
baik. Sedangkan diluar sana
saya tahu masih banyak pelajar dan mahasiswa yang sering melakukan pesta miras
dan narkoba di tempat kos mereka. Banyak mahasiswa daerah yang tadinya bersih
kemudian menjadi pecandu narkoba karena pengaruh pergaulan. Karena itulah saran
saya untuk para orang tua yang akan menyekolahkan anaknya jauh dari rumah,
sering-seringlah pantau perkembangan anak kalian. Kalau perlu pilihkan tempat
kos yang induk semangnya tinggal disana. Sehingga para orang tua selain bisa
memantau melalui anaknya langsung bisa juga memantau anaknya melalui pemilik /
penjaga kos. Sehingga kita bisa meminimalisir kemungkinan anak-anak kebanggan
kita jatuh kedalam pengaruh narkoba. Ingat, narkoba tidak mengenal usia, jenis
kelamin dan pekerjaan. Siapapun bisa menjadi pengguna dan pecandu. Maka
meminimalisir kemungkinan pada orang-orang terdekat kita adalah hal yang paling
mungkin kita lakukan. Mari kita mencegah dan menyelamatkan pengguna narkoba serta jadikan tahun 2014 sebagai tahun penyelamatan pengguna narkoba.
Waduh iya jangan dah kalo sampe main2 sama narkoba... Pasti kacau semua akhirnya....
ReplyDeleteGw dulu temen2 gw semua juga pada ngerokok. Tp untung nya pada pengertian kalo gw gak ngerokok jd mereka gak pernah ngebul2in ke arah gw. Hehe
pergaulan memang berpengaruh besar ya, terhadap pemakaian narkoba...Mas goiq aja yang SMA-nya bersih, ehhh...terbawa arus juga pas kuliah, hehe
ReplyDeletesaya, syukurnya sampai sekarang tidak merokok. padahal ayah dan adik saya perokok berat. biasalah orang di desa pasti merokok
ReplyDeleteapalagi ganja dan miras, saya tidak sekali pun mencobanya :)
teman pergaulan memang bisa mewarnai kehidupan kita. syukurlah ada titik yang bisa mengembalikan pikiran sehingga bisa kembali ke jalan yang lurus :D
ReplyDeletePaling menakutkan ya kang dengan barang-barang narkoba.
ReplyDeleteSalam
itu adalah masa lalu,,masalalu yg sudah terkubur,,
ReplyDeleteitu daun untuk di lalap enak gak ya :) Semoga dijauhkan dengan narkoba ya
ReplyDeleteSalut sudha berhenti merokok mas :)
ReplyDeleteWooooow, aku pernah belajar ngerokok juga waktu SMP, (atau SMA ya?), belajar di wese sendirian. Ternyata bukan style saya, soalnya merokok itu kayak lagaknya kayak "basa basi gaya sok keren" gitu khan? It's not my style.. hahaha..
ReplyDeleteBERATI DIRIKU SELAMAT DARI ROKOK SEMATA-MATA KARENA BEDA STYLE!!!!
emmeizing!
wahh masih untung tidak berkelanjutan ri...hehehhe...say no to narkoba!
ReplyDeleteSEmoga kejadian tersebut gak kejadian juga deh ama diri gw mas, :)
ReplyDeletesoalnya dari sma gw udah anti banget ama Rokok dan Miras, apalagi narkoba.
saya gak tahan sama asap rokok, mungkin karena ada bakat asma. sempat sih jaman masih ABG labil dl test2 ngerokok tapi saya langsung batuk2 kayak nenek2, bukannya keren saya malah di tertawai heheheheh
ReplyDeleteberuntung dapat bapak dan suami yg gak ngerokok, baca ini langsung teringat adik bungsu saya yang lagi kuliah di jawa semoga saja dia gak pernah coba2 narkoba... :)
Mau dong resepnya berhenti merokok. Suamiku enggak bisa dibilangin :(
ReplyDeleteSerem mas kalo dah nyinggung narkoba
ReplyDeleteIam so proud of you. Good job bro !!!
ReplyDeleteIam so proud of you. Good job bro !!!
ReplyDelete